Posts

5 Serangan Siber Yang Perlu Bisnis Waspadai

serangan siber

5 Serangan Siber Yang Perlu Bisnis Waspadai

Saat mengembangkan bisnis, Anda pastinya telah memprediksi segala jenis ancaman dan potensinya terhadap keberlangsungan perusahaan. Mulai dari bencana alam, human error, hingga serangan siber, ketiganya memiliki potensi bahaya terhadap operasional bisnis. Terutama bila dikaitkan dengan kehilangan data perusahaan.

Di masa pandemi COVID-19 seperti sekarang, serangan siber menjadi ancaman paling tinggi untuk berbagai organisasi. Seiring banyaknya pengguna yang bekerja dan belajar dari rumah secara daring, pelaku serangan siber pun semakin gencar untuk melancarkan aksinya. Bahkan Cisco Umbrella pun melaporkan setidaknya terjadi peningkatan sebesar 40% serangan siber pada pandemi tahun lalu.

Melihat kasus ini, tentunya bisnis tidak hanya harus melindungi datanya. Mengenal segala jenis serangan siber juga perlu dilakukan agar strategi perlindungan data dapat dieksekusi tim IT dengan maksimal. Lalu jenis serangan siber apa saja yang perlu diwaspadai bisnis?

1. The Corporate Spies

serangan siber

(Source: South_agency from Getty Images Signature)

Banyak perusahaan melanggengkan jenis serangan siber The Corporate Spies untuk menyusup atau meretas sistem IT para pesaingnya. Dengan menggunakan peretas untuk melakukan spionase pada para pesaing bisnis, perusahaan bisa mencuri data penting pesaingnya seperti rencana bisnis, hak paten, data keuangan, kontrak, dan lainnya. Salah satu contoh kasus yang bisa diambil dari serangan siber satu ini adalah Compulife – NAAIP. 

Pada tahun 2020, Compulife Software, Inc. menuduh pesaingnya melakukan spionase untuk meretas dan mencuri data miliknya. Bukti juga menegaskan bahwa NAAIP menyewa seorang peretas untuk spionase perusahaan. Meski pengadilan kelas bawah memutuskan bahwa spionase tersebut tidak terhitung  sebagai kejahatan, Pengadilan Sirkuit justru tidak setuju dengan putusan tersebut dan memvonis NAAIP bersalah.

2. Nation-State Hackers

serangan siber

(Source: Wpadington from Getty Images)

Menurut Search Security, jenis serangan siber satu ini sering digunakan oleh pemerintah untuk meretas sistem maupun melakukan tindakan kejahatan terhadap rivalnya. Pernyataan tersebut dapat didasari ketika melihat serangan Solarwinds yang menyebabkan pelanggaran jaringan besar-besaran, hingga memungkinkan peretas untuk membocorkan ribuan data organisasi secara global, termasuk data pemerintah Amerika Serikat.  Lalu, bagaimana ini bisa terjadi?

Pada serangan siber tersebut, peretas memasang malware mereka ke SolarWinds, sebuah perusahaan yang memproduksi platform pemantauan kinerja IT yang disebut Orion. Perlu diketahui, ribuan perusahaan di seluruh dunia menggunakan perangkat lunak yang diproduksi oleh SolarWinds tersebut. Karena telah disusupi oleh malware, semua perangkat lunak dari pelanggan SolarWinds akhirnya tercemar pada bulan Maret hingga Juni 2020.

AS meyakini bila peristiwa tersebut terjadi karena ulah rusia. Tapi itu tidak sepenuhnya benar, ada juga kelompok peretas yang diduga memiliki hubungan dengan pemerintah Korea Utara dan Iran. 

3.  Script-Kiddies

serangan siber

(Source: kaptnali from Getty Images)

Meskipun dianggap amatir karena banyak meretas demi kesenangan, tapi Anda tidak boleh menganggap remeh serangan siber jenis Script-Kiddies. Serangan jenis satu ini cukup dikenal setelah memaksa ratusan website offline pada Jumat 2016 lalu. Bahkan, para ahli juga mempercayai bahwa Script-Kiddies sering membantu penjahat serius melalui penyelidikan sembrono dan kompromi sistem mereka.

Maka dari itu, Anda perlu berhati-hati agar bisnis dapat terlindungi dari serangan siber satu ini. Tapi, bagaimana caranya agar sistem IT terhindar dari serangan Script-Kiddies? Berikut tipsnya:

  • Perbarui perangkat lunak keamanan Anda secara teratur.
  • Lacak lalu lintas situs Anda secara teratur.
  • Jangan gunakan kata sandi yang lemah.

4. Cryptojackers

(Source: stevanovicigor from Getty Images Pro)

Cryptojackers merupakan jenis serangan siber yang mencuri daya komputasi dan sumber daya pengguna untuk meraup cryptocurrency. Dilansir MUO, McAfee pernah mengalami peningkatan 4000 persen dalam malware penambangan kripto pada 2019 lalu. Yang paling menakutkan, peretas beralih dari mengkompromikan PC pengguna individu dan perangkat seluler hingga menyusup ke situs web populer dan menyebarkan malware ke siapapun yang mengunjunginya.

Melihat kasus tersebut, Anda tentu perlu berhati-hati dalam melindungi data dan perangkat perusahaan. Maka dari itu, untuk meminimalisir potensi serangan cryptojackers, Anda bisa mengikuti tips berikut:

  • Selalu waspada terhadap perubahan perilaku perangkat Anda.
  • Gunakan selalu plugin, aplikasi, dan add on yang Anda kenal dan terpercaya.
  • Sebelum mengunduh aplikasi apapun, pastikan itu ditinjau dengan baik, diperbarui secara berkala, dan memiliki unduhan yang cukup.

5. Ransomware Sewaan

(Source: Zephyr18 from Getty Images Pro)

Banyak kelompok peretas terkenal di seluruh dunia menyediakan ransomware untuk disewakan. Kelompok-kelompok tersebut biasanya mengikuti model Ransomware as a Service (RaaS), di mana mereka menyewakan ransomware seperti pengembang perangkat lunak menyewakan produk Software as a Service (SaaS).

Salah satu yang cukup populer dari kasus ini adalah grup ransomware Darkside. Peretas tersebut menyerang Colonial Pipeline, sistem pipa minyak Amerika yang membawa bahan bakar jet dan bensin di sekitar AS. Akibat dari serangan siber tersebut, seluruh manajemen mengalami kerugian lebih dari $15 miliar.

Sebagai pengusaha, Anda pasti tidak ingin bisnis tertimpa ransomware seperti di atas bukan? Maka dari itu, strategi perlindungan data sangat penting untuk dimiliki oleh perusahaan, sehingga risiko kehilangan data bisa diminimalisir semaksimal mungkin. Lalu, bagaimana caranya agar bisnis mencapai strategi perlindungan data yang efektif untuk menghindari serangan siber? Ketahui tips selengkapnya dengan mengunjungi artikel ini.

Zettagrid Indonesia merupakan salah satu penyedia layanan cloud di Indonesia yang menyediakan Infrastructure as a Service (IaaS) seperti Virtual Data Center (VDC), Virtual Private Server (VPS), Backup as a Service (BaaS), Disaster Recovery as a Service (DRaaS), dan lainnya. Bila Anda memiliki pertanyaan tentang solusi atau keamanan cloud, Anda dapat menghubungi kami di sini atau ke sales@zettagrid.id.

How to implement Disaster Recovery Plan for SAP?

disaster recovery plan for SAP

How to implement Disaster Recovery Plan for SAP?

 In developing a business, disaster is not a matter of if anymore, but when. Therefore, before disaster strikes the organization, enterprise needs to mitigate the plan to prevent the risks of disaster. Implementing Disaster Recovery can be the solution to solve this problem. With its capability to recover business-critical systems and data, the organization can save its business continuity. That’s why some organizations see Disaster Recovery as a critical solution to their survival, including for SAP.

Disaster Recovery for SAP has always been a discussion since SAP is one of the most mission-critical applications for organization. IDC analyzed the cost to the company, should a critical application fail. They calculated the cost to be between $500.000 to $1 million per hour of downtime. But, no worries, as organizations are ready to effectively combat downtime in SAP with the recovery solution, the business can save cost and minimize the loss.

This article will be discussing how to implement a Disaster Recovery plan for SAP. Read them below here:

1. Planning The Basic Infrastructure 

The first thing to ensure an effective recovery plan for a SAP-based business is to maintain an ecosystem that has uninterrupted power supply. Plan for redundancies from multiple providers and power generators. With an adequate supply of diesel, enterprise can keep the business running for at least 48 hours.

However, redundancies also need to be planned for internet connectivity. A single connection is fraught with risks and at least two separate companies providing connectivity will mitigate the risk of connection downtimes. This also needs to be set up to automatically switch using adequate network hardware.

The next step is business needs to ensure that all the hardware has built-in redundancy. The last thing business would want to experience is to be left with data backups and nowhere to install them. This is very crucial to get you back on your feet without delay, in the event of a disaster. Regular audits to ensure that these systems are functioning as expected is the first and most important aspect of any recovery Plan.

2. Search for the RPO and RTO

RPO and RTO are the two key parameters that form the crux of Disaster Recovery planning for SAP. RTO stands for Recovery Time Objective and RPO stands for Recovery Point Objective. Practical, pre-defined, and pre-approved RPO and RTO are essential to chart your recovery plan.

With these two aspects, business would know how long it would take before they can switch to the SAP recovery site.

3. Disaster Recovery Plans and the Technologies used

Disaster Recovery plan for SAP begins by planning backups of the database that stores all the information managed by the SAP applications. the technologies used for this purpose can be traditional or advanced, such as Network Attached Storage (NAS), VMware SRM for SAP DR, cloud DR, HANA-specific Disaster Recovery, or Disaster Recovery as a Service (DRaaS).

4. Geographical Location of Disaster Recovery site or center

After choosing the method of recovery to be implemented for SAP, the next most important aspect is to choose the ideal center that provides a safe house for your data. The Disaster Recovery center should be in a different seismic zone. A rule of thumb is to have at least 60 km between two data centers. This helps mitigate the risk of seismic activity at these centers.

 

Those are ways to implement a Disaster Recovery plan for SAP. If you have any questions related to our Disaster Recovery solutions, you can contact us here or through sales@zettagrid.id.

Why Business Needs Disaster Recovery for SAP? 

Why Business Needs Disaster Recovery for SAP? 

As the digital economy expands, technology adoption like SAP becomes growing for some organizations. With its development and automation, SAP has helped organizations work seamlessly in this era. Therefore, it’s not a surprise anymore to see this technology as a worth investment for enterprise to start to digitize its business operational system. 

However, adopting SAP to automate business operations does not mean it can be free from the threat. Security threats or disasters can strike the organization system, including SAP, anytime it can and cause many risks for its continuity. That’s why adopting SAP would be ideal if the organization also prepares for the solution to prevent the threats. One of them is by using Disaster Recovery.

According to discus.solutions, Disaster Recovery enables organizations to take preventive measures to ensure the business continues to function uninterrupted despite facing a disaster situation. By minimizing the effects of a jolt and recover any lost assets, Disaster Recovery can be a key component for Business Continuity plan. Not only that, having a Disaster Recovery plan for SAP will also prevent business from some risks. Curious to know what is the risk? Read them below here:

1. Prevent Loss That Caused by Failed SAP Application

Disaster Recovery for SAP

(Source: fizkes from shutterstock)

Implementing SAP system that is a perfect fit for your business is never a spontaneous decision, considering it has a massive investment. That’s why for some business, choosing SAP takes plan, strategies, and considerations to become successful. But for some, SAP projects that lack of a sound strategic plan have led to epic disasters like SAP application failure. 

That’s why having a Disaster Recovery for SAP is important for business. By implementing it, business can save financial costs of SAP application failure per hour. Not only that, but Disaster Recovery can also recover the SAP systems that were impacted by the failure. Thus, business operational system still can be run without having an extended downtime.

2. Minimize the Risk of Downtime

(Source: 3d imagination from shutterstock)

Disasters, or even failures, are common things that can occur and cause downtime to business. Moreover, these can lead to huge losses in man-hours within and outside of the organization. That’s why before it strikes, business needs to consider the solution for its system, especially for its SAP application.

Create a strategy with Disaster Recovery can be an option to prevent its manifold effects. By having a second-site that places and recovers system including SAP, a business can save and minimize the risks of downtime. That’s why organizations need to think twice about a solution like Disaster Recovery for SAP to save its business continuity.

3.  Save Business Reputation

Disaster Recovery for SAP

(Source: Jirsak from shutterstock)

Experiencing a downtime to business can impact everything, whether it can be revenue loss or the worse, business can lose its reputation and trust from its customer that is caused by the down business operations and services.

That’s why Disaster Recovery for SAP is critical for business. By saving time from extended downtime, Disaster Recovery solutions enable business to maintain and save its reputation before it gets worse. Thus, business still can save trust, whether from suppliers or customers.


Those are the three reasons why you need Disaster Recovery for SAP. If you have any questions related to our Disaster Recovery solutions, you can contact us here or through sales@zettagrid.id.

 

Hindari Kehilangan Data Office 365 Dengan Strategi Ini

kehilangan dataHindari Kehilangan Data Office 365 Dengan Strategi Ini

 Data Office 365 yang hilang dan rusak memang bisa menjadi bencana bagi bisnis. Apalagi jika bisnis tidak memiliki salinan data yang hilang, keberlangsungan bisnis pasti menjadi kekhawatiran utama bagi pengusaha. Lalu, bagaimana caranya agar bisnis bisa meminimalisir risiko kehilangan data Office 365?

Pada artikel sebelumnya, Anda telah diperlihatkan beberapa penyebab kehilangan data di Office 365. Mulai dari serangan malware atau ransomware, human error, hingga overwritten data, ketiganya sangat berpeluang untuk merusak dan menghapus data bisnis. Coba bayangkan, apa yang terjadi jika data bisnis, penjualan, hingga internal manajemen Anda hilang karena ketiga insiden tersebut? Pastinya akan sangat merepotkan bagi organisasi. Bahkan Skykick menyebutkan kehilangan data di Office 365 bisa meraup kerugian hingga $ 3.957 US Dollar.

Oleh sebab itu, strategi pun perlu dipersiapkan agar bisnis bisa meminimalisir risiko kehilangan data dan aset yang dimiliki oleh organisasi. Di bawah ini, Skykick telah merangkum cara agar bisnis bisa melalui kehilangan data Office 365 tanpa memicu tantangan lain. Berikut ulasannya:

1. Pertimbangkan regulasi perlindungan data Office 365

kehilangan data

(Sumber: jirsak from Getty Images)

Berbicara tentang perlindungan data Office 365, sebenarnya ada beberapa solusi yang dirancang untuk melindungi dan memulihkan data untuk cloud Software as a Service (SaaS) satu ini. Masing-masing didesain untuk tujuan tertentu dan sebagai hasilnya, satu atau lebih solusi tersebut membutuhkan perlindungan data yang lengkap dan persyaratan pemulihan data bisnis.

Untuk itu, ada dua hal yang perlu dipertimbangkan oleh bisnis untuk meminimalisir potensi kehilangan data di Office 365:

  •  Sistem perlindungan data: Di sini bisnis bisa mulai dengan mengevaluasi data apa yang ingin dilindungi, perlukah legal atau syarat compliance untuk melindungi data, hingga solusi seperti Business Continuity dan Disaster Recovery (BCDR). Hal ini dilakukan agar untuk menentukan solusi yang tepat dalam meminimalisir risiko kehilangan data.
  • Kecepatan dan resensi pemulihan data: Pada langkah ini, bisnis harus menentukan seberapa lama toleransi kehilangan data (Recovery Point Objective, RPO) dan seberapa cepat data dapat dikembalikan (Recovery Time Objective, RTO). Pada umumnya, pertimbangan RTO dan RPO bergantung kepada sektor bisnis yang dijalankan. Contohnya, untuk institusi finansial, perlu kemampuan untuk mengembalikan data hingga yang terbaru.

2. Tentukan solusi perlindungan data yang sesuai

(Sumber: Natali_Mis from Getty Images Pro)

Setelah mempertimbangkan dan mengevaluasi sistem perlindungan data, bisnis bisa mulai memilih solusi untuk melindungi data Office 365. Beberapa solusi yang mungkin bisa dipertimbangkan oleh bisnis, di antaranya Backup, Archiving, hingga Business Continuity dan Disaster Recovery (BCDR).

Sayangnya, meski memiliki fungsi yang sama, ketiga solusi tersebut menawarkan sistem yang berbeda. Jika BCDR menawarkan Ongoing backup untuk data di seluruh sistem dan archiving menyediakan lokasi terpisah untuk menyimpan maupun mengamankan data, maka Backup memberikan sistem pengembalian data secara berkala dan otomatis tergantung kebutuhan resources. Maka dari itu, bisnis perlu menentukan apa yang sesuai untuk data, terutama Office 365.

3. Persiapkan strategi backup

(Sumber: 5432action from Getty Images)

Pada langkah kedua, bisnis tentu telah mempertimbangkan solusi terbaik sesuai dengan kebutuhannya. Maka bisa dipastikan jika bisnis mengalami kerusakan atau kehilangan data Office 365, merancang strategi Backup adalah opsi terbaik untuk meminimalisir risiko yang terjadi setelah insiden. 

Strategi Backup untuk Office 365 bisa bisnis lakukan dengan mulai mengevaluasi data dan layanan Office 365 apa saja yang ingin dibackup, berapa lama waktu yang dibutuhkan bisnis untuk mengembalikan data, hingga seberapa sering bisnis ingin membackup data (apakah backup dijadwal secara harian, mingguan, atau bulanan?). Sehingga jika terjadi insiden pada layanan Office 365, strategi satu ini bisa tereksekusi dengan baik.

Itulah beberapa hal yang bisa dipersiapkan oleh bisnis dalam meminimalisir risiko kehilangan data Office 365. Dengan mempersiapkan #SolusiYangPasti, bisnis tetap bisa menyelamatkan kelangsungannya. Tapi, apa sih #SolusiYangPasti untuk data Office 365? Nantikan kami di topik selanjutnya ya!

Jika Anda memiliki pertanyaan lebih lanjut tentang solusi cloud kami, hubungi kami di sini atau ke sales@arupa.id.

Bagaimana Cara Membangun Disaster Recovery Plan?

disaster recovery planBagaimana Cara Membangun Disaster Recovery Plan?

Saat kata “bencana” terdengar, pikiran kita mungkin langsung membayangkan tentang gempa, tsunami, gunung berapi, atau bahkan tornado. Tapi jika sudah menyangkut tentang infrastruktur IT bisnis seperti data center, kata “bencana” sebenarnya bisa mencakup lebih luas lagi, seperti: human error dan cyber crime.

Bencana alam dan buatan memang merupakan aspek yang perlu untuk dimitigasi oleh bisnis, mengingat pengaruh yang ditimbulkan bisa berdampak besar. Entah bencana tersebut menyebabkan rusaknya sistem infrastruktur IT atau hilangnya data bisnis, keduanya memiliki risiko tidak hanya bagi operasional, tetapi juga bagi kelangsungan bisnis.

Untuk itu, mitigasi seperti Disaster Recovery Plan sangat dibutuhkan oleh bisnis demi meminimalisir besarnya risiko yang terjadi. Tapi, bagaimana cara yang tepat bagi bisnis untuk membangun Disaster Recovery Plan?

Di artikel ini, Anda akan diberi tahu cara membangun Disaster Recovery Plan. Simak selengkapnya di bawah ini:

Identifikasi tim dan penyedia layanan terkait

disaster recovery plan

(Sumber: Gorodenkoff from Getty Images Pro)

Seperti yang dibahas, Disaster Recovery memang menjadi tanggung jawab tim IT suatu bisnis. Namun pada banyak kasus, infrastruktur satu ini banyak disediakan oleh penyedia layanan cloud mengingat layanannya yang lebih efisien, aman, dan High Availability.

Untuk itu, bisnis perlu mengidentifikasi tim yang mampu bertanggungjawab dalam menjalankan infrastruktur satu ini. Sehingga ketika bencana terjadi, bisnis bisa sigap dalam menjangkau tim IT yang mengoperasikan Disaster Recovery Plan dan operasional bisnis serta penyedia layanan Disaster Recovery as a Service.

Identifikasi sistem dan aplikasi yang penting 

disaster recovery plan

(Sumber: baramee2554 from Getty Images)

Sistem dan aplikasi memang menjadi bagian terpenting dalam menjalankan bisnis. Tanpa kedua aspek ini, operasional dan layanan bisnis mungkin tidak akan berjalan dengan maksimal, begitu pula ketika bisnis Anda mengalami bencana. Oleh sebab itu, Disaster Recovery Plan sangat dibutuhkan untuk meminimalisir risiko failure dari sistem dan data.

Namun sebelum membangun hal tersebut, pengusaha perlu mengidentifikasi kedua aspek tadi untuk dimasukkan ke dalam Disaster Recovery Plan. Bisnis bisa mulai dengan memisahkan keduanya ke beberapa komponen seperti kemungkinan mengalami failure dan dampak bisnis dari kejadian tersebut. 

Pastikan RTO dan RPO bisnis Anda realistis dan mampu dicapai

disaster recovery plan

(Sumber: scyther5 from Getty Images)

Jika Anda pernah membaca artikel sebelumnya, Anda pasti tahu betul apa arti RTO dan RPO. Namun jika Anda masih asing dengan dua istilah ini, berikut kesimpulannya: Recovery Time Objective (RTO) adalah seberapa lama Disaster Recovery akan memulihkan sistem, sementara Recovery Point Objective (RPO) mendeskripsikan lamanya data yang akan dipulihkan.

Dalam membangun Disaster Recovery Plan, kedua aspek ini berperan penting dalam menjalankan kembali operasional bisnis. Maka dari itu, pengusaha perlu memastikan RTO dan RPO yang akan dicapai dari solusi Disaster Recovery agar rencana pemulihan bencana bisa berjalan sukses.

Rancang redundancy dan failover

(Sumber: AnandaBGD from Getty Images Signature)

Saat bisnis membangun Disaster Recovery Plan untuk sebuah aplikasi, pastikan dengan seksama sistem yang terhubung dengan aplikasi tersebut. Pastikan aplikasi apa saja yang terhubung? Dan bagaimana aplikasi bisnis Anda dapat beroperasi dengan sistem lainnya? 

Jika memang memungkinkan, buatlah arsitektur yang fleksibel dalam menghadapi downtime atau pemadaman listrik. Sebagai contoh, Anda bisa menjalankan sistem produksi dari dua data center yang berbeda. Jadi ketika bencana terjadi, satu sistem IT bisnis dapat “beralih” ke data center yang tidak terserang bencana. Jangan terlewatkan pula, saat merancang fail-over ke infrastruktur IT bisnis, carilah single point of failure. Sehingga ketika terjadi failure, bisnis bisa menemukan cara untuk mengatasinya.

Tentukan penyedia layanan untuk Disaster Recovery Plan

(Sumber: cnythzl from Getty Images Signature)

Di masa kini, melakukan outsourcing aplikasi dan memanfaatkan jasa penyedia layanan cloud bukanlah sesuatu yang baru. Dengan menyederhanakan sistem IT bisnis, penyedia layanan cloud mampu memberikan pengalaman IT yang lebih fleksibel dan efisien bagi bisnis. Sehingga tak mengherankan, jika sampai saat ini banyak bisnis beralih menggunakan layanan cloud berupa Virtual Data Center (VDC) untuk mengolah sistem dan datanya.

Tapi, jangan sampai terbuai dengan rasa aman saat melakukan outsourcing aplikasi dan layanan. Hanya karena Anda menggunakan layanan cloud untuk mengolah sistem dan data secara aman, bukan berarti sistem infrastruktur ini akan terlepas dari risiko bencana. Bencana alam atau bahkan downtime mungkin juga bisa dialami oleh penyedia layanan cloud, sehingga solusi Disaster Recovery as a Service pun sangat dibutuhkan untuk memaksimalkan Disaster Recovery Plan.   


Zettagrid Indonesia menyediakan layanan Disaster Recovery as a Service untuk mendukung keberlangsungan bisnis Anda. Dengan dua lokasi data center yang bertempat di Jakarta dan Cibitung serta telah bersertifikasi Tier IV, data Anda akan aman terjaga pada infrastruktur cloud Zettagrid. Jika Anda memiliki pertanyaan lebih lanjut, Anda dapat menghubungi kami di sini atau melalui sales@zettagrid.id.

Bagaimana Cara Meminimalisir Risiko Serangan Ransomware?

serangan ransomwareBagaimana Cara Meminimalisir Risiko Serangan Ransomware?

 

Kehadiran pandemi COVID-19 sampai saat ini telah memaksa berbagai perusahaan untuk menjalankan sistem bekerja remote. Tak heran, karenanya teknologi digital pun menjadi alat yang kian sering digunakan tidak hanya bagi individu, tetapi juga oleh berbagai bisnis untuk melancarkan produktivitas kerja karyawannya. Namun tahukah Anda? Tanpa disadari perubahan digital telah membawa berbagai risiko kepada sistem IT yang kita gunakan untuk bekerja, salah satunya adalah serangan ransomware.

Dilansir dari Kumparan.com, perusahaan otomotif, Honda, digadang-gadang pernah menjadi target serangan siber ransomware. Akibatnya, operasional beberapa pabrik Honda di seluruh dunia terhenti. Sehingga, perusahaan memutuskan untuk menutup sementara sejumlah fasilitas produksi, termasuk layanan pelanggan dan finansial. Meski tidak terdapat kebocoran data, Honda mengalami kerugian akibat bisnis operasional yang tidak dapat berjalan secara maksimal.

Melihat hal tersebut, tentunya ransomware memiliki dampak yang cukup besar bagi berbagai industri. Tidak hanya memblokir akses pengguna ke sistem komputernya, malware satu ini juga menginfeksi sistem dan data sehingga dapat menyebabkan kerusakan maupun hilangnya data bisnis. Bisa dibayangkan bagaimana jadinya jika data-data bisnis lenyap karena serangan ransomware? 

Untuk itu, diperlukan upaya pencegahan yang dapat meminimalisir risiko serangan ransomware. Beberapa upaya berikut bisa dijadikan referensi bagi bisnis untuk menghadapi serangan ransomware:

1. Konfigurasi Firewall

(Sumber: relif from Getty Images Pro)

Menerapkan sistem kerja remote memang bisa menjadi pilihan terbaik bagi bisnis untuk menghindari penyebaran virus COVID-19, tapi bukan berarti sistem kerja satu ini bisa terbebas dari risiko kejahatan siber. Ini dapat dikatakan mengingat koneksi internet yang digunakan user ketika bekerja remote memiliki tingkat risiko keamanan yang sama saat bekerja di kantor. Bahkan, hacker bisa saja menyerang dan menggerakan kendali monitor user.

Untuk itu, menyediakan infrastruktur IT dengan konfigurasi firewall sangat penting untuk memberikan penghalang antara jaringan internal dengan traffic dari sumber eksternal perusahaan. Ini juga memungkinkan sistem untuk memblokir traffic yang berbahaya, seperti hacker dan serangan ransomware. Jadi, ketika sistem perusahaan menerima konten yang berbahaya maupun user yang mencurigakan, firewall dapat bertindak untuk memblokir keduanya.

2. Strategi Backup Data 

serangan ransomware

(Sumber: juststock from Getty Images)

Ancaman ransomware dapat menjadi bencana serius bagi berbagai sektor usaha. Hal ini dikarenakan hacker dapat dengan mudah menghapus atau mengenkripsi data dengan mudah. Untuk meminimalisir hal tersebut, strategi backup bisa menjadi salah solusinya. 

Hal mendasar yang bisa dilakukan perusahaan ialah dengan melakukan backup data di perangkat yang tidak dapat diserang oleh hackers. Di samping itu, perusahaan juga dapat melindungi data melalui aturan 3-2-1 yang artinya perusahaan wajib memiliki tiga salinan data perusahaan, simpan dua salinan di media penyimpanan berbeda, dan simpan salah satunya di luar lokasi. Dengan Langkah tersebut, data dapat dipastikan kembali pulih apabila ransomware menyerang.

3. Mengandalkan Disaster Recovery as a Service (DRaaS)

serangan ransomware

(Sumber: Funtap from Getty Images)

Tidak hanya bencana, Disaster Recovery as a Service (DRaaS) juga bisa digunakan sebagai strategi untuk meminimalisir kejahatan siber seperti ransomware. Dengan mengekstraksi data dari On-Premise ke data center penyedia layanan cloud, data pun tetap bisa diakses oleh bisnis meski serangan ransomware tengah berlangsung. Tapi bagaimana ini bisa terjadi?

Jika Anda pengguna secondsiteDR, Anda pasti tahu betul bagaimana infrastruktur ini beroperasi hingga data bisa kembali diakses. Namun jika Anda bukan salah satunya, maka patut diketahui: pada SecondsiteDR, skenario failover yang diaktifkan ketika terjadi bencana akan mengirimkan beberapa bagian failover atau semua VM yang telah direplikasi di cloud ke on-premise. Sehingga ketika serangan ransomware terjadi, bisnis bisa tetap beroperasi mengingat sistem dan data bisnis dapat dipulihkan kembali oleh infrastruktur satu ini.

Zettagrid Indonesia merupakan penyedia layanan cloud Indonesia yang menawarkan layanan Infrastructure as a Service (IaaS), berupa Virtual Datacenter (VDC), Virtual Private Server (VPS), Backup as a Service (BaaS), Disaster Recovery as a Service (DRaaS) dan, lainnya. Jika Anda memiliki pertanyaan lebih lanjut tentang solusi cloud kami, Anda bisa menghubungi kami di sini atau ke sales@zettagrid.id. 

How to Enhance Data Protection with Active Disaster Recovery

active disaster recoveryHow to Enhance Data Protection with Active Disaster Recovery

Disaster recovery is one of the business-critical data protection for modern enterprise world. The ability to resume complete IT operations is essential to maintaining business continuity, avoiding loss of revenue and ensuring ongoing productivity of IT process. So how to enhance data protection with active disaster recovery?

Find the answer on Zettagrid e-TechDay vol.09 in collaboration with DELL Technologies. Meet our speakers Novia Kurniasih as Customer Success Lead Zettagrid IndonesiaArif Darmawan as ISV and CSP Lead Dell Technologies Indonesia, also Kemal Jayanagara as Account Manager Smartnet Magna Global.

Event Details:
Date: 7 April 2021
Time: 02.00 – 04.00 PM
Where: Zoom Meetings
Link To Register: bit.ly/etechday09

Event Agenda:

  • Building a Better Cloud Begins with Better Infrastructure – Arif Darmawan, ISV & CSP Lead DELL Technologies Indonesia.
  • How to Enhance Data Protection with Active Disaster Recovery – Novia Kurniasih, Customer Success Lead Zettagrid Indonesia
  • Enhanced Data Protection for Business Continuity – Kemal Jayanagara, Account Manager, Smartnet Magna Global

 

Register now and get OVO cash 50.000 each for first 50 attendees* also get a chance to win shopping vouchers at the end of the event.

*Terms and condition apply

5 Workloads That Potential for Cloud Adoption

cloud adoption5 Workloads That Potential for Cloud Adoption

 

Since pandemic COVID-19 spread a year ago, business industry from all over the world had to decide to implement a remote working system for their company. Some of them might succeed to adapt to its working system, but for some, it might be a challenge for their workloads. Therefore, technology like cloud adoption is needed to support companies’ work-from-home requirements. With its agility and flexibility, the cloud can maintain business continuity and build business resilience while working from home.

However, adopting cloud only to store and manage data is not enough to maintain business during COVID-19. Besides of data, some workloads are also needed to support enterprises in work collaboration and communications. Therefore, enterprises should consider cloud adoption to deploy them, so businesses can achieve the best remote working system during this pandemic. Then, what are the workloads that should be moved to the cloud?

A Vice President (VP) Analyst at Gartner, Ed Anderson, has listed five workloads that might be potential for cloud adoption.  Read them below to gain insights in maintain business during remote working:

1. Collaboration Tools

cloud adoption

(Sumber: dr.digitex from Freepix)

During pandemic, the demand for collaboration tools is increased for remote workers. With easy access and various features to enable remote teams to communicate and working on the same project together, those tools have offered the company productivity while working remotely. Therefore, this solution might be potential for cloud adoption.

Microsoft Office 365, iWork, and Google G Suite are three examples of cloud-based collaboration. The broad and horizontal applicability of these applications has proved of how well-suited cloud-based collaboration is for cloud delivery. Not only that, but the advancement of cloud-based collaborations also enabled more access for business while working remotely. That’s why enterprises should consider this option for the best collaborative tools.

2. Video Conference

(Sumber: AndreyPopov from Getty Images)

During pandemic, video conferencing has become the major communication tool for organizations. With the simple features, easy, and fast access, people now are using video conference not only to communicate with friends and family, but business is also included in it.

That’s why, as the remote workers increased, the demand for video conferencing doubled or even tripled in some markets. With the massive number of its usage even for business needs, of course, it will cause the immense demand for networking bandwidth. Hyperscale cloud providers can be a solution to deliver this solution. With its flexibility and high scalability, video conferencing can be potential for cloud adoption.

3. Virtual Desktop 

(Sumber: Pinkypills from Getty Images)

According to doubleoctopus.com, Virtual Desktop is an operating system and accompanying applications that are hosted on a server and made accessible to an endpoint. It is typically accessed through client software installed directly on an endpoint, and it can be used to enable the user to interact with each other. Therefore, this technology becomes one of the important tools for remote workers while working from home.

With the rising demand of its usage, cloud adoption can be a solution to deploy Virtual Desktops. While often delivered as a data center service, cloud-based desktop virtualization has become mainstream and provides stable and scalable control points than traditional data-center-based solutions.

4. Scale-out applications

(Sumber: pikisuperstar from Freepik)

According to technopedia.com, scaling-out is the IT strategies that increase the processing power and storage capacity of systems. So, if the applications need to be scaled-out, it means the applications could get benefit from adding additional resources to satisfy increases in demand.

Hyperscale cloud adoption can be a good choice to deploy scale-out applications. With the easy transition for enterprises to migrate their applications to the cloud, companies can grow their cloud at their own pace and hosting applications with variable usage or scale-out requirements.

5. Disaster Recovery  

(Sumber: olm26250 from Getty Images)

According to Gartner, 50% of organizations will increase their budget for cloud-based Disaster Recovery (DR) solutions by 2023. It can be predicted, as DR offers the cost-effectiveness of using a pay-per-use environment to support unexpected failover. That’s why, if your company needs a solution that can prevent the risk of downtime and can maintain business continuity at the same time, a cloud adoption for Disaster Recovery might be the best choice for your business. 

At Zettagrid we offer Disaster Recovery as a Service like secondsiteDR to support businesses in achieving their business continuity. With the High Availability and RTO below 15 minutes, Disaster Recovery can help the business to reduce downtime caused by disaster or even human errors. 


If you have any further questions about our solution, you can contact us here or through sales@zettagrid.id.

Bagaimana Cara Memilih Layanan DRaaS?

memilih layanan DRBagaimana Cara Memilih Layanan DRaaS?

Dalam mengembangkan bisnis, situasi bencana seperti sekarang merupakan salah satu ancaman umum yang harus dihadapi. Tak hanya itu, bahkan keberadaan bencana alam kerap kali membawa risiko tersendiri bagi para pengusaha. Mulai dari terhentinya operasional bisnis, rusaknya infrastruktur gedung, hingga hilangnya data-data penting perusahaan. Dengan melihat fenomena ini, solusi pun dibutuhkan demi menyelamatkan bisnis dari risiko bencana. Salah satunya adalah dengan menggunakan Disaster Recovery as a Service (DRaaS).

DRaaS sering kali menjadi infrastruktur pilihan bagi bisnis untuk menghindari terjadinya risiko bencana maupun Downtime. Dengan sistem yang secara khusus dibangun untuk menempatkan aplikasi, data, hingga backup data perusahaan, bisnis bisa tetap menjalankan operasionalnya dengan baik meski kedua kendala tadi menyerang. Bagi Anda yang berencana untuk memanfaatkan layanan DRaaS, berbagai hal tentunya harus dipertimbangkan oleh Anda sebelum menentukan layanan pilihan.

Berikut telah kami paparkan lima hal yang perlu bisnis perhatikan ketika memilih layanan DRaaS. Simak selengkapnya di bawah ini:

1. Performa layanan DRaaS

Saat memilih layanan DRaaS, Anda pastinya ingin layanan dapat berjalan semaksimal mungkin. Untuk itu, mengetahui dampak minimum terhadap aplikasi yang berada di Data Center primer sangat penting untuk dilakukan. Penyedia layanan DRaaS pun harus menjamin bahwa software yang digunakan untuk melindungi aplikasi pada Data Center primer memiliki dampak gangguan yang minim. Oleh karenanya, scenario uji coba DR harus dilakukan agar ekspektasi Anda bisa sesuai dengan layanan yang diberikan oleh penyedia.

2. Jaminan konsistensi dari penyedia layanan

Saat memilih layanan DR, Anda harus bisa memastikan jika penyedia layanan DR mampu memberi jaminan atas konsistensi data ketika terjadinya bencana. Biasanya konsistensi data ini mencakup aplikasi, transaksi, hingga poin-in-time (konsistensi pada waktu tertentu).

3. Recovery Point Objective (RPO)

Sistem RPO menjadi hal penting yang perlu diperhatikan dalam memilih layanan DRaaS. Pada umumya, sistem ini akan mengatur berapa lama waktu yang bisa ditoleransi dalam kehilangan data ketika terjadinya bencana. Jika RPO terjadi selama 15 menit, maka data yang akan direplikasi dari Data Center primer ke Data Center sekunder adalah setiap 15 menit.

Perlu diketahui, sistem RPO ini turut dipengaruhi oleh 2 hal, yaitu besar perubahan data (delta data) dan besarnya bandwidth untuk replikasi. Jadi bisa dikatakan untuk mencapai RPO dengan jangka waktu 15 menit, organisasi membutuhkan sekitar 4 Mbps (Mega bits per second) untuk 300 MB (Mega Bytes) delta data.

4. Recovery Time Objective (RTO)

Pada sistem ini akan diatur berapa lama Data Center sekunder bisa beroperasi setelah Data Center primer terjadi bencana. Oleh karenanya, sistem ini pun ikut menjadi pertimbangan agar Anda dapat mengetahui jeda waktu yang dibutuhkan ketika kendala terjadi.

5. Lokasi

Selain keempat poin di atas, lokasi Data Center sekunder pun menjadi salah satu aspek penting dalam pemilihan layanan DR. Ini dilakukan mengingat jarak penyimpanan antara Data Center primer dan sekunder harus mencapai radius minimal 30 km untuk sistem terbaik. Tak hanya itu, jarak lokasi penyimpanan ini juga akan mempengaruhi biaya WAN dan latency. Oleh sebab itu, untuk memaksimalkan kinerja DR, ada baiknya pemilihan lokasi yang tepat perlu dilakukan.

Sebagai penyedia layanan infrastruktur cloud lokal, Zettagrid Indonesia menawarkan layanan Disaster Recovery as a Service (DRaaS) untuk mendukung keberlangsungan bisnis Anda. Dengan dua lokasi Data Center yang bertempat di Jakarta dan Cibitung serta telah bersertifikasi Tier IV, data Anda akan aman terjaga pada infrastruktur cloud Zettagrid. Jika Anda memiliki pertanyaan lebih lanjut mengenai layanan cloud kami, Anda dapat menghubungi kami di sini atau melalui sales@zettagrid.id.

Exclusive Disaster Recovery Q&A on Zettagrid

Disaster RecoveryExclusive Disaster Recovery Q&A on Zettagrid

 

What if you suddenly lost your critical data? Are you prepared for the recovery solutions? Service-interrupting events can happen at any time. Your network could have an outage, your latest file-save backup might have failed, or—in rare cases—you might even have to contend with a natural disaster or even caused by human error.

Join us and ask exclusively live from Sydney Australia and Indonesia on “Zettagrid e-CloudTalk Vol.05: Exclusive Disaster Recovery Q&A on Zettagrid”. Get an insight about DR solution on Zettagrid with the fastest technology that could reach RPO below 15 mins with following speakers: Wayne Heath as Presales Architect Zettagrid Australia, Donny Christiaan as IT Hardware & Infrastructure Manager Polygon Bikes, also Jimmi Nababan as IT Country Manager Columbia Asia Hospitals.

Event Details:
Date: Thursday, 26 November 2020
Time: 10.00 – 12.00 WIB (JKT Time)
Moderator: Novia Kurniasih (Customer Success Manager Indonesia)

Live online from Zoom
Link to register: https://tinyurl.com/eCloudTalk05

Register now and get a chance to win MAP Shopping Voucher also Exclusive Merchandise from Zettagrid at the end of the event!